Senin, 18 Desember 2017

Kritik Novel



ANAKLUH BERWAJAH BUMI

Image result for gambar novel anakluh


Penulis : Ugi Agustono
Ugi Agustono J. yang aktif bekerja dan produktif ini menulis aneka naskah. Karyanya: naskah untuk program pendidikan SD, SMP & SMA (2006 – 2007); naskah untuk sosialisasi Mahkamah Konstitusi (2006 – 2007); novel Anakluh Berwajah Bumi (2009) yang difilmkan (2010); aktif di lembaga internasional (2008 – sekarang); script writer movie (2010); riset budaya, pendidikan anak-anak pedalaman Indonesia, dan membuat film dokumenter (2008 – sekarang); lane producer “Anakluh” movie (2010); guest lecture (2010 – sekarang); novel Tenun Biru (2012) (tentang, Dayak, Toraja, Karimunjawa, Bali, Bantar Gebang, Rawa Sampih; novel Konservasi Cenderawasih Papua Zeth Wonggor (2013); novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) (tentang Labuan Bajo, Pulau Komodo, Loh Liang, Rinca, Pink Beach, Wae Rebo, seluruh Kepulauan Raja Ampat); writer and lane producer (sampai sekarang); mempunyai sekolah bahasa Inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu; berkeliling Indonesia dari pulau ke pulau, mengajar anak-anak di pedalaman, dan belajar budaya. Nataga The Little Dragon adalah karya terbarunya yang mengangkat tokoh binatang asli Indonesia, yaitu komodo dan Pulau Komodo yang diakui sebagai warisan dunia atau natural world heritage oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Novel “ Anakluh berwajah bumi” yang dicetak pada tahun 2010 dengan tebal 170 halaman ini merupakan sebuah karya sastra yang bercerita mengenai kehidupan yang ada disekitar kita yang mungkin terjadi dan dialami oleh orang terdekat kita, orang yang kita cintai, atau bahkan mungkin dari kita sendiri. Tokoh Idayu sebagai pemeran utama dalam novel ini adalah seseorang yang menjadi orang tua tunggal bagi kedua puteri tercintanya. Ia membesarkan kedua puterinya dengan caranya sendiri. Menjadi wanita karier metropolitan yang sangat padat rutinitasnya, tetapi tidak pernah ia mengesampingkan kasih sayang untuk kedua putrinya, Mira dan Kirrei. Namun tak lepas dari itu sesempurna kasih sayang seorang ibu masih belum terasa sempurna jika tidak dipadukan dengan kasih sayang dari sesosok ayah. Mira dan Kirrei tidak pernah mendapatkan kasih sayang oleh seorangayah, karena Idayu ( ibunya) ditinggalkan oleh suaminya selama 18 tahun tanpa sebab. Hingga pada suatu ketika idayu mulai mengenal arti cinta kembali tetapi saat cintanya sudah terlalu besar, Mira mengutarakan isi hatinya bahwa ia menyukai Nando kekasih ibunya. Akhirnya Idayu memilih menginggalkan Jakarta dan memilih Bali untuk melanjutkan hidupnya.
Konflik atau ketegangan batin yang sangat diunggulkan dalam novel ini membuat pembaca seakan tidak percaya bagaimana mungkin seorang anak dan ibu mencintai seseorang yang sama. Selain itu bagaimana Nando menyikapi keduanya dapat menarik pembaca untuk menikmati alur ceritanya hingga selesai, sepetri pada kata,
“ Day, izinkan aku melamarmu sekarang.”
“ Nand, bagaimana dengan Mira: aku sudah berjanji dengan diriku sendiri kalau aku tidak akan menyakiti hatinya.”
Nando hanya diam memandang lembut kekasihnya. Lalu, ia menunduk dalam. Hati Idayu remuk redan oleh cintanya pada Mira dan Nando. Jari tangan mereka masih saling bertaut erat. Suara yang keluar dari bibir Idayu terasa bergetar. “ Akuminta maaf, Nand.”                 ( Ugi Agustono, 2010:170).
            Isi cerita yang tidak monoton menjadi suatu kelebihan tersendiri pada novel ini. Permasalahan atau konflik yang terdapat pada novel ini tidak hanya berkutat pada percintaan segitiga yang dialami oleh Idayu, Nando, dan Mira, tetapi beberapa kejadian seperti kelanjutan pendidikan Kirrei yang lebihtertarik dengan jurnalisnya. Selain itu Mira yang memperjuangkan agar ia diterima di perusahaan pertamina atau Schlumberger. Selain itu berbeda dengan novel lain yang biasanya mengerucut pada akhir cerita kesan menggantung dari akhir cerita malah menjadi keunggulan juga karena pembaca belum dapat menebak pada akhir- akhir cerita dalam novel tersebut sosok Nando memilih siapa antara Idayu kekasihnya ataukah Mira anak kekasihnya yang mencintainya.
            Pemilihan kota Bali sebagai setting utama pada novel  “ Anakluh berwajah bumi”  berbeda dari yang lainnya yaitu nuansa Bali pada senja  yang bisa menghipnotis pembaca seolah- olah pembaca dapat merasakan keindahan dan ketenangan kota Bali. Gambaran kehidupan religius dan kultur budaya masyarakat Bali sangat kental yang saat itu dapat memenangkan hati tokoh Idayu terkemas sangat apik. Selain itu setting yang berada didua tempat yaitu Bali  dan Jakarta, kehidupan idayu yang berkutat pada karernya di Bali  dan kedua anaknya yang menyelesaikan pendidikan di Jakarta tidak membuat pembaca merasa bingung karena dikisahkan secara berpisah.
            Gaya bahasa yang indah, dan mengalir membuat ciri khas yang ditonjolkan dalam novel ini mebuat pembaca tidak jenuh untuk mengikuti alur cerita. Beberapa percakapan Nando dan Idayu yang terkesan sangat romantis ataupun percakapan antara Nando dengan Mira dalam bentuk kasih sayang kepada anak kekasihnya sendiri dalam bentuk pesan singkat melalui media komunikasi handphone ini sangat puitis, seperti : Zuz Mira, diluar ada gerimis... Tak mengapa, Indah berjalan di bawahnya... aku hanya ingin memayungi... senyum selalu manis.. memberi wangi hari menanti. Namun makna pada puisi tersebut menjadi kekurangan novel ini karena tiap pembaca memiliki perbedaan dalam memaknainya. Tetapi lebih dari kekurangan itu dapat tertutupi dengan gaya bahasa yang juga ditonjolkan dalam novel tersebut yaitu percakapan dengan bahasa Bali antara Idayu dengan beberapa tokoh masyarakat bali membuat pembaca merasakan bahasa itu dapat mengalir dan membuat pembaca merasakan seperti sedang berada di Bali, seperti: “ Pagi- pagi de melengok nyen kesambet, Gek Day!” ( pagi- pagi jangan melamun, mbak Day, nanti ada hawa jahat yangg masuk ke pikiran.) “ Matur sukma, Biang.”
Kemudian salah satu hal yang ditonjolkan dalam novel ini adalah beberapa pesan bahwa kita sering menganggap tabu kalau sudah bicara menyangkut nilai- nilai yang berhubungan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, kita sering merasa benar ketika melakukan pelanggaran terhadap norma- norma yang berlaku. Bahkan untuk jujur dengan diri sendiri saja, kadang kita tidak berani. Tapi, bukannya tidak ada orang yang bisa jujur dengan dirinya sendiri. Meski orang- orang seperti itu akan danggap aneh oleh lingkungan sekitarnya. Harapan terbesarnya, kita bisa memulai mencoba jujur dengan diri kita sendiri, memiasakan diri untuk tidak memandang siapapun hanya dari fidik semata dan tidak meganggap remeh siapapun.
Kesimpulan novel “ Anakluh berwajah bumi” merupakan salah satu karya sastra yang baik untuk dibaca, selain alur yang tidak monoton, gaya bahasa yang indah dan yang paling penting adalah amanat yang sangat baik untuk kehidupan kita. Novel ini dapat dibaca oleh remaja hingga dewasa sekalipupun karena selain menghibur novel ini mengajarkan kita akan kejujuran yang saat ini sangat jarang kita temukan atau kita terapkan dalam kehidupan kita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengarustamaan Ham

Bekerjasama dengan The Asia Foundation dan Ditjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kalijaga Institute for Justice (KIJ) UIN Su...