ANAKLUH BERWAJAH BUMI

Penulis : Ugi Agustono
Ugi Agustono J. yang aktif bekerja
dan produktif ini menulis aneka naskah. Karyanya: naskah untuk program
pendidikan SD, SMP & SMA (2006 – 2007); naskah untuk sosialisasi Mahkamah
Konstitusi (2006 – 2007); novel Anakluh Berwajah Bumi (2009) yang
difilmkan (2010); aktif di lembaga internasional (2008 – sekarang); script
writer movie (2010); riset budaya, pendidikan anak-anak pedalaman
Indonesia, dan membuat film dokumenter (2008 – sekarang); lane producer
“Anakluh” movie (2010); guest lecture (2010 – sekarang); novel Tenun Biru (2012) (tentang, Dayak, Toraja,
Karimunjawa, Bali, Bantar Gebang, Rawa Sampih; novel Konservasi Cenderawasih
Papua Zeth Wonggor (2013); novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014)
(tentang Labuan Bajo, Pulau Komodo, Loh Liang, Rinca, Pink Beach, Wae Rebo,
seluruh Kepulauan Raja Ampat); writer and lane producer (sampai
sekarang); mempunyai sekolah bahasa Inggris gratis untuk anak-anak dengan
ekonomi tidak mampu; berkeliling Indonesia dari pulau ke pulau, mengajar
anak-anak di pedalaman, dan belajar budaya. Nataga The Little Dragon
adalah karya terbarunya yang mengangkat tokoh binatang asli Indonesia, yaitu
komodo dan Pulau Komodo yang diakui sebagai warisan dunia atau natural world
heritage oleh United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization (UNESCO).
Novel “ Anakluh berwajah bumi” yang
dicetak pada tahun 2010 dengan tebal 170 halaman ini merupakan sebuah karya
sastra yang bercerita mengenai kehidupan yang ada disekitar kita yang mungkin
terjadi dan dialami oleh orang terdekat kita, orang yang kita cintai, atau bahkan
mungkin dari kita sendiri. Tokoh Idayu sebagai pemeran utama dalam novel ini
adalah seseorang yang menjadi orang tua tunggal bagi kedua puteri tercintanya.
Ia membesarkan kedua puterinya dengan caranya sendiri. Menjadi wanita karier
metropolitan yang sangat padat rutinitasnya, tetapi tidak pernah ia
mengesampingkan kasih sayang untuk kedua putrinya, Mira dan Kirrei. Namun tak
lepas dari itu sesempurna kasih sayang seorang ibu masih belum terasa sempurna
jika tidak dipadukan dengan kasih sayang dari sesosok ayah. Mira dan Kirrei
tidak pernah mendapatkan kasih sayang oleh seorangayah, karena Idayu ( ibunya)
ditinggalkan oleh suaminya selama 18 tahun tanpa sebab. Hingga pada suatu
ketika idayu mulai mengenal arti cinta kembali tetapi saat cintanya sudah terlalu
besar, Mira mengutarakan isi hatinya bahwa ia menyukai Nando kekasih ibunya.
Akhirnya Idayu memilih menginggalkan Jakarta dan memilih Bali untuk melanjutkan
hidupnya.
Konflik atau ketegangan batin yang
sangat diunggulkan dalam novel ini membuat pembaca seakan tidak percaya
bagaimana mungkin seorang anak dan ibu mencintai seseorang yang sama. Selain
itu bagaimana Nando menyikapi keduanya dapat menarik pembaca untuk menikmati
alur ceritanya hingga selesai, sepetri pada kata,
“ Day, izinkan aku melamarmu
sekarang.”
“ Nand, bagaimana dengan Mira: aku
sudah berjanji dengan diriku sendiri kalau aku tidak akan menyakiti hatinya.”
Nando hanya diam memandang lembut
kekasihnya. Lalu, ia menunduk dalam. Hati Idayu remuk redan oleh cintanya pada
Mira dan Nando. Jari tangan mereka masih saling bertaut erat. Suara yang keluar
dari bibir Idayu terasa bergetar. “ Akuminta maaf, Nand.” ( Ugi Agustono, 2010:170).
Isi
cerita yang tidak monoton menjadi suatu kelebihan tersendiri pada novel ini.
Permasalahan atau konflik yang terdapat pada novel ini tidak hanya berkutat
pada percintaan segitiga yang dialami oleh Idayu, Nando, dan Mira, tetapi
beberapa kejadian seperti kelanjutan pendidikan Kirrei yang lebihtertarik
dengan jurnalisnya. Selain itu Mira yang memperjuangkan agar ia diterima di
perusahaan pertamina atau Schlumberger. Selain itu berbeda dengan novel lain
yang biasanya mengerucut pada akhir cerita kesan menggantung dari akhir cerita
malah menjadi keunggulan juga karena pembaca belum dapat menebak pada akhir-
akhir cerita dalam novel tersebut sosok Nando memilih siapa antara Idayu
kekasihnya ataukah Mira anak kekasihnya yang mencintainya.
Pemilihan
kota Bali sebagai setting utama pada novel
“ Anakluh berwajah bumi” berbeda dari yang lainnya yaitu nuansa Bali
pada senja yang bisa menghipnotis
pembaca seolah- olah pembaca dapat merasakan keindahan dan ketenangan kota
Bali. Gambaran kehidupan religius dan kultur budaya masyarakat Bali sangat
kental yang saat itu dapat memenangkan hati tokoh Idayu terkemas sangat apik.
Selain itu setting yang berada didua tempat yaitu Bali dan Jakarta, kehidupan idayu yang berkutat
pada karernya di Bali dan kedua anaknya
yang menyelesaikan pendidikan di Jakarta tidak membuat pembaca merasa bingung
karena dikisahkan secara berpisah.
Gaya
bahasa yang indah, dan mengalir membuat ciri khas yang ditonjolkan dalam novel
ini mebuat pembaca tidak jenuh untuk mengikuti alur cerita. Beberapa percakapan
Nando dan Idayu yang terkesan sangat romantis ataupun percakapan antara Nando
dengan Mira dalam bentuk kasih sayang kepada anak kekasihnya sendiri dalam
bentuk pesan singkat melalui media komunikasi handphone ini sangat puitis, seperti : Zuz Mira, diluar ada gerimis... Tak mengapa, Indah berjalan di
bawahnya... aku hanya ingin memayungi... senyum selalu manis.. memberi wangi
hari menanti. Namun makna pada puisi tersebut menjadi kekurangan novel ini
karena tiap pembaca memiliki perbedaan dalam memaknainya. Tetapi lebih dari
kekurangan itu dapat tertutupi dengan gaya bahasa yang juga ditonjolkan dalam
novel tersebut yaitu percakapan dengan bahasa Bali antara Idayu dengan beberapa
tokoh masyarakat bali membuat pembaca merasakan bahasa itu dapat mengalir dan
membuat pembaca merasakan seperti sedang berada di Bali, seperti: “ Pagi- pagi de melengok nyen kesambet, Gek
Day!” ( pagi- pagi jangan melamun, mbak Day, nanti ada hawa jahat yangg
masuk ke pikiran.) “ Matur sukma, Biang.”
Kemudian
salah satu hal yang ditonjolkan dalam novel ini adalah beberapa pesan bahwa
kita sering menganggap tabu kalau sudah bicara menyangkut nilai- nilai yang
berhubungan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, kita sering
merasa benar ketika melakukan pelanggaran terhadap norma- norma yang berlaku. Bahkan
untuk jujur dengan diri sendiri saja, kadang kita tidak berani. Tapi, bukannya
tidak ada orang yang bisa jujur dengan dirinya sendiri. Meski orang- orang
seperti itu akan danggap aneh oleh lingkungan sekitarnya. Harapan terbesarnya,
kita bisa memulai mencoba jujur dengan diri kita sendiri, memiasakan diri untuk
tidak memandang siapapun hanya dari fidik semata dan tidak meganggap remeh
siapapun.
Kesimpulan
novel “ Anakluh berwajah bumi” merupakan salah satu karya sastra yang baik
untuk dibaca, selain alur yang tidak monoton, gaya bahasa yang indah dan yang
paling penting adalah amanat yang sangat baik untuk kehidupan kita. Novel ini
dapat dibaca oleh remaja hingga dewasa sekalipupun karena selain menghibur
novel ini mengajarkan kita akan kejujuran yang saat ini sangat jarang kita
temukan atau kita terapkan dalam kehidupan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar